Jika kita bosan menikmati Bali dengan pantai, pantai dan
pantainya, tidak ada salahnya jika kita mencoba melihat Bali dari sudut pandang
yang berbeda. Bali dengan budayanya, Bali dengan keramahan penduduknya, dan
Bali dengan keindahan alam tradisionalnya.
Semua itu bisa kita dapatkan jika kita berkunjung ke desa
Penglipuran, sebuah desa wisata yang tersohor akan keindahan, kebersihan, dan
keramahan penduduknya.
Jalan utama desa Penglipuran |
Ya, desa Penglipuran yang terletak di kelurahan Kubu kec. Bangli kab. Bangli ini memang terkenal dengan keindahan dan kebersihan lingkungannya. Berbagai penghargaan telah disabet desa ini dari berbagai kategori. Desa ini pernah dinobatkan oleh salah satu majalah internasional sebagai desa terbersih ketiga di dunia setelah desa Giethoorn Belanda dan desa Mawlynnong di India. Desa yang pernah meraih penghargaan Kalpataru ini juga kerap diperbincangkan TripAdvisor sebagai The Traveller Choice Destination 2016.
Berbagai penghargaan ini tentu melambungkan nama desa
Penglipuran ke seantero negeri. Dampaknya, kunjungan wisatawan pun meningkat
pesat dari waktu ke waktu, baik itu wisatawan domestik maupun manca negara.
Total luas desa Penglipuran sendiri sekitar 112 hektar, yang
terdiri dari 12 hektar area rumah penduduk, 49 hektar ladang, dan 37 hektar
hutan bambu. Di puncak bukit, berdiri Pura Penataran Desa Pekraman Penglipuran,
yang menjadi pusat ibadah warga desa. Hutan bambu yang rimbun di utara desa
juga menarik untuk dinikmati karena terjaga kebersihan dan keasriannya.
Hutan bambu di belakang desa. Bersih, terawat |
Pura Penataran Desa Pekraman Penglipuran |
Kapan waktu yang tepat untuk berkunjung ke desa Penglipuran?
Sebenarnya desa Penglipuran terbuka untuk setiap wisatawan,
dari pagi sampai sore. Namun tentu keindahan desa akan lebih terasa jika
dinikmati pada pagi hari. Di saat matahari belum terlalu tinggi, di saat embun
pagi masih menetes di sela sela daun kembang di pinggir jalan desa. Saat ini
merupakan golden moment bagi setiap photografer untuk mengabadikan keindahan
desa.
Gadis gadis desa bersiap melakukan upacara di pura desa |
Anak kecil berangkat ke sekolah dengan seragam baju adat |
Banyak. Di desa ini, kita bisa menikmati keindahan desa pada
setiap sudutnya. Rumah-rumah dibangun seragam, baik itu bangunan utama, pura
keluarga, atau gerbang masuk rumah. Semua sama. Semua bersih. Semua juga
menarik. Jalan desa pun bersih dari polusi, karena motor dan mobil milik
penduduk diletakkan di tempat tersendiri di belakang rumah dengan jalur masuk
yang berbeda.
Pura keluarga di setiap rumah |
Beristirahat di belakang rumah warga desa |
salah satu sudut rumah warga di belakang rumah. |
Bicara soal minuman, ada satu minuman yang khas dari desa
ini, yaitu Loloh Cemcem. Minuman ini terbuat dari air degan, sari daun cemcem,
ditambah gula dan garam. Rasanya segar, ada manis, ada asem, mungkin sedikit
pahit. Menurut saya, rasanya malah mirip asem jawa, tapi sedikit pedas.
menikmati loloh cemceman |
Di samping kedisiplinan tentang kebersihan, warga desa
Penglipuran juga terkenal anti poligami. Jika ada warga yang melanggar
pantangan dan melakukan poligami, maka dia akan dihukum secara adat dan
ditempatkan di tempat tersendiri yang disebut Karang Memadu. Di samping itu,
yang bersangkutan akan terkena sanksi sosial yang cukup berat, yaitu tidak
boleh bergabung melaksanakan upacara adat, dilarang masuk pura, dilarang
melintasi perempatan desa, dan dikucilkan oleh masyarakat.
Masyarakat setempat memandang Karang Memadu sebagai lahan
leteh atau kotor. Masyarakat bahkan tidak boleh mengambil hasil tanaman yang
tumbuh di areal itu untuk persembahyangan, seperti pisang dan bunga-bunga.
Menurut cerita, pernah ada seorang warga yang melanggar
pantangan tersebut. Pria tersebut awalnya menikah dengan seorang wanita. Namun karena
tidak punya anak, maka dia menikah lagi dengan wanita lain, tanpa menceraikan
istri pertama. Warga desa pun berinisiatif membuatkan gubug di tengah Karang
Memadu, sebagai tempat tinggal bagi keluarga tersebut. Laki-laki dan istri
istri berikut keturunannya hanya boleh tinggal di tempat tersebut. Merasa tidak
kuat dikucilkan, lelaki itu pindah ke desa sebelah sampai akhirnya salah satu
istrinya bersedia diceraikan.
Awig-awig atau hukum adat yang mengatur sanksi masyarakat
berpoligami tertuang dalam Awig-awig Desa Pekraman Penglipuran tertanggal 19
Agustus 1989, pada bab kelima (Sat Sargah), bagian pertama (Palet 1), mengatur
Indik Pawiwiwahan.
Bagikan
Sejenak Melepas Penat di Desa Penglipuran
4/
5
Oleh
Tri Hartanto
6 komentar
Tulis komentarIki acara english outing TBI IAIN Kediri tow....
ReplyMantab om
Replywaduh, fotone sampyan gak masuk ya om? Kelewatan..... :D
Replywah, sayang bu ari gak ikut kemarin ya?!. Tumben....
ReplyKeren...
Replysaya pernah berlibur kesana dan memang tempatnya indah sekali, Sedot WC Kediri
Replysilahkan masukkan komentar anda disini