Membaca berita tentang mogoknya bis jamaah haji di Arab
Saudi, http://internasional.kompas.com/read/2014/09/07/15433741/Tiga.Bus.Jemaah.Haji.Mogok.di.Antara.Jeddah-Madinah,
membuat saya teringat pengalaman menunaikan ibadah haji tahun 2008 lalu. Saat
itu kami dari kloter 48 Kota Kediri juga menggunakan bis yang dicarter oleh
Pemerintah Indonesia, baik itu dari Jeddah ke Mekkah, Mekkah ke Madinah,
ataupun untuk transportasi sehari-hari jamaah.
Untuk keperluan transportasi
dari Maktab ke Masjidil Haram, kami memakai bis dari SAPTCO yang relatif masih
baru. Bus bermerk Yutong dari China tersebut sedemikian barunya, sehingga
plastik pembungkus kursinya pun masih belum dilepas. AC nya dingin, dan
mesinnya pun terdengar halus. Maklum, masih baru. Waktu itu saya juga
terkagum-kagum dengan fasilitas refrigerator dan water heater untuk minum
jamaah. Belum lagi ada kompartemen bagasi di bawah, yang bisa dipakai tidur kru
bis.
Hanya sayangnya, fasilitas yang bagus tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan sopir mengenali jalan-jalan di kota Mekkah. Hingga sering terjadi kami harus berputar-putar dulu mencari jalan alternatif, ketika jalan utama ditutup atau macet.
Yang lucu sekaligus juga menjengkelkan, ada saja alasan sopir tidak segera berangkat. Dia tenang-tenang saja, meski jamaah sudah gelisah karena sudah menjelang masuk sholat di Haram. Baru setelah salah seorang jamaah berinisiatif mengumpulkan 1 riyal per orang dan diberikan ke sopir, bus perlahan bergerak ke Haram.
"Indonesia bagus.....! Indonesia bagus....! Mafi muskila...(no problem)" kata sopir sambil mengancungkan ibu jarinya ke arah kami.
Meski begitu, tidak ada jaminan kami bisa sampai ke Haram. Sering juga kami kesasar, dan sopirnya menyerah. Kalau sudah seperti itu, terpaksa kami turun. Alternatifnya, kami mencari bis yang lain atau mencari taksi sendiri.
Bus SAPTCO di pelataran parkir Masjidil Haram |
Hanya sayangnya, fasilitas yang bagus tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan sopir mengenali jalan-jalan di kota Mekkah. Hingga sering terjadi kami harus berputar-putar dulu mencari jalan alternatif, ketika jalan utama ditutup atau macet.
Yang lucu sekaligus juga menjengkelkan, ada saja alasan sopir tidak segera berangkat. Dia tenang-tenang saja, meski jamaah sudah gelisah karena sudah menjelang masuk sholat di Haram. Baru setelah salah seorang jamaah berinisiatif mengumpulkan 1 riyal per orang dan diberikan ke sopir, bus perlahan bergerak ke Haram.
"Indonesia bagus.....! Indonesia bagus....! Mafi muskila...(no problem)" kata sopir sambil mengancungkan ibu jarinya ke arah kami.
Meski begitu, tidak ada jaminan kami bisa sampai ke Haram. Sering juga kami kesasar, dan sopirnya menyerah. Kalau sudah seperti itu, terpaksa kami turun. Alternatifnya, kami mencari bis yang lain atau mencari taksi sendiri.
Mencari taksi di kota metropolitan Mekkah teryata juga
masalah tersendiri. Di samping kendala bahasa, tarif taksi suka dipukul
seenaknya oleh sang sopir. Bisa naik berlipat-lipat dari hari biasa. Dan kalau
sudah begitu, tidak ada yang namanya “pelanggan adalah raja”. Kalau mau ya
sekian riyal. Kalau gak mau ya sudah, kita akan ditinggal di tepi jalan.
Alternatif lainnya, kita bisa mencegat kendaraan pribadi
yang lewat yang menuju Haram (istilah untuk Masjidil Haram). Entah itu GMC, Suburban, Range Rover, atau paling apes Camry, bisa kita pakai untuk nunut ke
Haram. Tapi meski nunut, tidak ada yang gratis di sana. Tetap saja kita harus
bayar, dan itu juga mesti tawar menawar dulu.
Dalam hati saya juga berpikir, orang kaya dengan penampilan
seperti syekh tersebut (berjenggot tebal, memakai thawb yang dilengkapi dengan
ghutra, dan bertutup sorban panjang), masak sih masih perhitungan ketika
menolong orang. Tapi nyatanya memang demikian. Hatta demi 2-3 riyal pun, dia
masih tega memungut kita yang sama-sama mau sholat ke Haram. Padahal kalau kita
bertemu orang seperti itu di Indonesia, mungkin kita rela untuk cium tangan. Saking
tawadhu’nya mungkin, he..he..he..
Di samping SAPTCO, ada juga bis HAFIL. Bis ini yang kami
pakai dalam perjalanan dari Jeddah ke Mekkah, dan dari Mekkah ke Madinah. Termasuk juga dipakai
ketika mengantar kami pulang dari Madinah ke bandara Prince Mohammad bin Abdul
Aziz, Madinah. Jadi prinsipnya, dari awal kami tiba di bandara, sampai nanti
pulang ke bandara lagi, kami memakai bis yang sama. Bisnya sama, kru bisnya
juga sama.
Berbeda dengan SAPTCO, bis HAFIL secara umum memang tidak
baru. Bisnya kuno, dan tidak ada fasilitas mewah yang biasa ada di SAPTCO. Karena
tidak bisa memilih bis, kami ya hanya bisa pasrah dan menerima saja. Hanya
menurut kami, meskipun bis lama, bis HAFIL ini rasanya enak juga. Kata temenku,
bis-bis di Arab rata-rata CC-nya besar. Belum lagi kualitas bensin dan solar
disini sangat istimewa, sehingga kondisi mesin juga terawat.
Pemandangan kota Jeddah dari dalam bus HAFIL |
Pernah satu kejadian dalam perjalanan dari Mekkah ke
Madinah, tali pengikat bagasi tas di atap bis lepas. Kontan saja terpal
penutupnya berkibar-kibar dengan suara yang riuh. Untung saja tidak ada tas
yang terjatuh. Bis segera berhenti di pinggir jalan, dan sang sopir segera
turun untuk membetulkan tali. Karena kebiasaan di Jawa, kami yang laki-laki
berinisiatip membantu. Namun sopir malah mengusir kami, dan dengan tangan
diletakkan di mulut, kami disuruh menjauh. Kata temenku yang mengerti bahasa
Arab, artinya kami banyak cakap. Kakehan omong....he...he..he...
Mogok di tengah gurun pasir antara Mekkah - Madinah |
Yang unik, pada saat prosesi haji di Armina (Arafah Mina),
ada bis-bis yang gundul. Artinya bis tersebut tidak ada atapnya, kecuali untuk
sopir. Jadi penumpangnya duduk di dalam bis, tapi beratap langit. Biasanya bis
tersebut mengangkut jamaah haji dari Iran. Gak tahu ada kepercayaan apa
sehingga sampai seperti itu.
Bis tanpa atap untuk jamaah haji Iran |
Namun secara umum, transportasi haji Indonesia di Mekkah relatif masih bagus. Tidak ada yang namanya jamaah sampai naik ke atap bus, seperti halnya jamaah haji dari negara lain. Juga tidak ada yang berjejal jejal sampai taraf membahayakan keselamatan, kecuali yang tidak sabar menunggu bis di berikutnya.
* thawab : baju terusan sepanjang mata kaki serta lengan yang menutup hingga ke pergelangan tangan
* ghutra : penutup kepala berbentuk persegi yang dilipat secara diagonal sehingga menghasilkan bentuk segitiga dan kemudian dipakai di atas kopiah
Bagikan
Transportasi Haji di Saudi Arabia
4/
5
Oleh
Tri Hartanto
silahkan masukkan komentar anda disini