Berawal dari adanya kesempatan menjejakkan kaki di Aceh,
maka terbersit keinginan untuk berkunjung ke wilayah terluar NKRI. Sekalian,
mumpung ada di Aceh. Di sela sela kesibukan menangani PIONIR VIII, tentu bukan
hal yang mudah untuk menyempatkan diri kesana. Di samping waktu yang terbatas,
lokasi yang jauh, dan sulitnya transportasi menjadi tantangan tersendiri.
Pelabuhan Balohan Sabang |
Senin, tgl 24 April setelah sarapan, saya segera meluncur ke
pelabuhan Ulee Lheu diantar Ardy, LO dari UIN Ar Raniry Aceh. Waktu sudah menunjukkan
7.30 WIB, tapi jalanan kota Banda Aceh
masih sepi dari kendaraan. Mungkin karena hari ini libur nasional Isra Mi'raj,
atau memang tipikal geografis Banda Aceh yang memang lebih ke barat dibanding wilayah lain di
Indonesia, entahlah....
Setelah melewati jembatan Kreung Aceh, masjid Baiturrahman,
lapangan Blang Padang dan Museum Tsunami, akhirnya kami sampai di masjid
Baiturrahim Ulee Lheu. Masjid yang terkenal sebagai salah satu masjid yang
selamat dari dahsyatnya tsunami tersebut sebagai penanda kita sudah sampai di
wilayah pelabuhan.
Pelabuhan Ulee Lheu adalah pelabuhan yang melayani
penyeberangan ke Pulau Aceh, Pulau Breueh, dan pulau Sabang. Tentu, sebagai
pulau terbesar dan terluar, pulau Sabang adalah yang paling favorit. Setiap
hari penyeberangan dari dan ke Pulau Sabang selalu ramai dengan penumpang.
Bahkan di akhir pekan atau long weekend, tiket selalu sold out jauh jauh hari
sebelumnya.
Di kalangan masyarakat setempat, Pulau Sabang juga dikenal
sebagai pulau Weh. Dalam bahasa Aceh, Weh berarti pindah. Namun kebanyakan
orang sepakat disebut Pulau Weh karena secara geografis, bentuk pulau Weh mirip
dengan huruf W.
Ada dua cara untuk menyeberang ke Pulau Sabang dari Banda
Aceh. Pertama, menggunakan kapal ferry (kapal lambat) dengan harga tiket Rp
25.000 per orang plus pass masuk pelabuhan Rp. 2000,- Dengan ferry ini, maka pelabuhan Ulee Lheu Aceh dan pelabuhan
Balohan di Sabang ditempuh selama dua jam.
Tiket kapal cepat |
Kapal cepat Express Bahari 2F |
Yang perlu diperhatikan adalah, kapal ini berlayar hanya dua
kali sehari untuk hari Senin - Kamis. Sedangkan Jumat, Sabtu, Minggu ada tiga trip perjalanan. Artinya,
jika kita ketinggalan trip terakhir, harus rela menginap di Pulau Sabang
menunggu esok hari.
Melaju cepat menuju Pulau Sabang |
Kapal ferry, kapal lambat |
Karena pertimbangan efisiensi waktu, saya memilih kapal cepat
yang berangkat jam 10.00. Kapal cepat Ekspress Bahari yang saya naiki segera
menderum keras memecah gelombang. Dengan kabin yang bersih dan ruangan ber-AC,
kapal tersebut cukup nyaman dinaiki. Walaupun berlayar dengan kecepatan tinggi,
namun guncangannya tidak terlalu terasa. Saya sendiri lebih memilih berada di
buritan atas daripada terkurung di kabin kapal. Tak terasa, 45 berlalu, dan
kapal berlabuh di pelabuhan Balohan, Sabang.
Pelabuhan Balohan Sabang |
Dermaga pelabuhan Balohan |
Para pemilik rental motor dan mobil menawarkan jasanya |
Turun dari pelabuhan, saya disambut dengan teriakan yang
menawarkan rental mobil dan motor. Memang di pulau kecil ini, alternatif transportasi
tidak banyak. Yang umum ada adalah menyewa motor atau mobil. Sewa motor Rp
100.000 dan mobil 350.000 per hari. Namun jika menggunakan driver, sewa motor
jadi Rp 150.000 dan mobil Rp. 500.000. Saya sendiri lebih memilih sewa motor
plus sopir yang merangkap jadi guide.
jalanan mulus di Pulau Sabang |
Dan tanpa menunggu waktu lebih lama, kami pun melaju di
aspal mulus jalanan Pulau Sabang.
Sesungguhnya, ada banyak destinasi wisata di Pulau Sabang.
Ada Pantai Iboh yang terkenal dengan aktivitas snorkling dan diving. Resort
mewah di pantai ini juga selalu penuh di akhir pekan. Ada pantai Gapang dengan
butiran pasir putih dan air lautnya yang dangkal. Berenang di pantai Gapang seperti berendam di kolam raksasa yang jernih. Sementara Di balik kota Sabang, ada benteng Jepang Sumur Tiga yang terletak di pinggir pantai.
Pantai Iboh |
Tentu, tujuan favorit wisatawan ke Pulau Sabang adalah Titik
Nol Kilometer. Tempat ini dipercaya sebagai titik terluar wilayah NKRI. Dengan
mengunjungi tempat ini, orang percaya telah mencapai ujung wilayah Republik
Indonesia.
Sebenarnya, klaim ini tidak sepenuhnya benar. Karena
beberapa mil laut dari titik nol kilometer, terletak Pulau Rondo. Pulau inilah
yang menjadi wilayah terdepan NKRI. Sayangnya, masyarakat awam dilarang masuk
pulau itu dan dijaga oleh TNI untuk keperluan pertahanan kedaulatan wilayah terluar RI.
Meski jalan menuju Titik Nol Kilometer sangat bagus, namun berkendara disini tetap harus hati hati. Jalanan berkelok tajam, lalu secara
tiba-tiba mendaki terjal, membuat perjalanan tidak bisa cepat. Di beberapa tempat,
beberapa monyet malah berjalan santai di tengah jalan, menghalangi kendaraan yang
lewat.
Monyet berkeliaran di jalan |
Menurut guide yang membonceng saya, yang harus diwaspadai justru adalah
babi hutan. Tak jarang secara tiba-tiba muncul babi hutan dari semak pinggir
jalan, berlari cepat menghantam pengendara yang lewat. Pernah suatu ketika,
seorang pengendara dilarikan ke rumah sakit karena motor yang dikendarainya
terjungkal diseruduk babi hutan. Tangan pengendara yang malang itu sampai patah.
Gardu Pandang danau Anaeuk Laot |
Danau Aneuk Laot |
Beberapa kilometer di luar kota Sabang, saya melewati danau
Aneuk Laot. Danau yang menyuplai persediaan air bersih bagi penduduk kota
Sabang ini menyajikan pemandangan yang sangat memanjakan mata. Sejauh mata
memandang tersaji keelokan alam yang luar biasa. Di beberapa tempat malah
dibangun gardu pandang yang khusus untuk menikmati keindahan danau yang bersih
itu dari atas.
Lepas dari danau Aneuk Laot, sekali lagi mata dibuat takjub
dengan keindahan Pantai Iboh. Pantai tenang di teluk Sabang itu menjadi favorit
wisatawan dalam dan luar negeri, khususnya pecinta olahraga snorkling dan
diving. Beberapa resort yang dibangun seperti rumah adat setempat menawarkan
wisata keindahan atas dan bawah air.
Beberapa kilometer sebelum Titik Nol Kilometer, terdapat situs
militer Satuan Radar (Satrad) 233 yang berada di bawah Komando Pertahanan Udara
Nasional (Kohanudnas). Masyarakat setempat lebih mengenal kompleks militer ini
dengan sebutan Kompleks Walet. Kompleks ini sekaligus menjadi bangunan terakhir sebelum kita memasuki Titik Nol Kilometer.
Gerbang masuk Titik Nol Kilometer |
Titik Nol kilometer adalah suatu wilayah yang ditandai
dengan tugu peringatan yang menjulang tinggi. Tugu yang dibangun oleh TNI ini
sekaligus sebagai penanda kita telah sampai di wilayah terluar NKRI. Di depan
tugu, terdapat tulisan TITIK 0 KILOMETER,
yang biasanya menjadi lokasi favorit pengunjung untuk berfoto. Bagi yang
kurang puas, biasanya akan mencoba berfoto di atas bebatuan terjal di balik
pagar. Dengan berfoto di tempat ini, orang percaya mereka lebih jauh lagi
keluar dari wilayah Indonesia daripada sekedar titik nol.
berdiri di pinggir karang |
Di kantor pengelola monumen, biasanya disediakan sertifikat bagi
pengunjung yang ditandatangani Walikota Sabang. Sertifikat yang bisa didapat
dengan mengganti uang cetal 20 ribu tersebut biasanya menjadi souvenir favorit bagi
pengunjung. Sayang, karena hari libur, saat itu kantor pengelola tutup.
Beberapa warung sekitar yang biasanya "kulakan" dan menjual
sertifikat itu pun mengaku kehabisan. Apalah daya,.... Kecewalah hati awak!
Demi mengejar ferry terakhir yang meninggalkan Pulau Sabang,
saya tidak bisa berlama lama di tempat itu. Walau terasa berat, kami pun melaju
meninggalkan Titik Nol, menuju kota Sabang.
Kota Sabang adalah kota kecil yang tertata rapi. Penduduknya
tidak banyak, sehingga infrastruktur jalan yang dibangun lebar terasa seperti
berlebih lebihan. Karena sepinya kendaraan, lampu lalu lintas sering diterobos
pengendara, tanpa ada kecelakaan yang berarti. Kebetulan, tanggal 23 April kemarin baru saja dilaksanakan Sabang Marine Festival, yang menampilkan kapal-kapal pesiar (yacht) dari berbagai negara. Sehingga suasana meriah dan dominasi turis asing masih terasa saat ini.
Yatch Peserta Sabang Marine Festival |
Kami menyempatkan diri sholat Dhuhur di masjid Agung
Babussalam Sabang. Masjid yang besar dan indah itu terlihat cantik di tengah ketenangan
kota Sabang. Bagi pecinta wisata kuliner, Pantai Paradiso di jalan Malahayati
menawarkan aneka ragam kuliner dan hiburan. Pantai yang ramai menjelang sunset
ini banyak menjadi jujugan pengunjung.
Masjid Agung Babussalam Sabang |
Pukul 13.45, saya sampai kembali ke pantai Balohan.
Masih ada waktu 15 menit untuk membeli tiket dan masuk ke ferry. Agar variatif,
kali ini saya mencoba naik kapal lambat, dengan tarif 27 ribu. Tanpa saya duga,
ratusan orang telah memadati setiap jengkal lokasi kapal. Lantai atas, dek,
selasar, bahkan anak tangga pun dijejali dengan penumpang. Sementara, di
dermaga masih mengantri ratusan motor dan mobil yang ingin menyeberang. Mungkin
karena ini adalah penyeberangan terakhir pada hari itu, membuat orang tak punya
pilihan lain selain memaksa harus terangkut.
Alhamdulillah, walau dengan sedikit terseok seok karena muatan
yang penuh, kapal akhirnya berangkat. Berbeda dengan kapal ekspress Bahari yang
melaju cepat, kapal ini hanya bergerak perlahan, menguji kesabaran para penumpangnya.
Karena lelah dan panas, aku terkantuk kantuk dalam pelayaran 2 jam tersebut.
Akhirnya, tepat pukul 16, kapal pun sandar di dermaga Ulee Lheu.
Masjid Baiturrahim Ulee Lheu |
Bagikan
Berkunjung Ke Titik Nol Kilometer Indonesia
4/
5
Oleh
Tri Hartanto
4 komentar
Tulis komentarSiip P Haji ..... Oleh2 nya jangan lupa ...... He he he ....
ReplyKalau Aceh, yang biasa jadi oleh oleh ya kopi. Ibarat kata, orang Aceh tak bisa lepas dari kopi
ReplyWaaah keren, ini ke Sabang juga bawa sepeda,Pak?
Replymembayangkan bawa sepeda disini sepertinya asyik juga ya. Tapi mungkin butuh effort yang besar, mengingat kontur jalannya yang naik turun dan masih banyak hutan
Replysilahkan masukkan komentar anda disini