Sunday, August 5, 2012

Nikmatnya Buka Puasa di Pantai Brumbun


Mobil Panther yang kami tumpangi malam itu meraung-raung mendaki jalanan terjal, melintasi jalanan rusak dengan kemiringan yang ekstrim. 7 orang penumpangnya terguncang-guncang di dalamnya, hingga harus berpegangan erat pada kursi masing-masing. Adzan maghrib yang tinggal 30 menit lagi memaksa kami untuk tidak memperdulikan semua itu. Harapannya cuma satu, bisa sampai ke pantai Brumbun sebelum waktu buka puasa tiba. Sempat kulirik jam tanganku, waktu saat itu menunjukkan pk 17.05, hari Sabtu, 4 Agustus 2012. Berbarengan dengan hari ke 15 puasa Ramadhan 1433 H.

Keelokan pantai Brumbun dari atas bukit *

Infrastruktur jalan menuju pantai Brumbun memang rusak parah.  Di beberapa tempat malah batu-batu besar menonjol dengan lubang dalam di sisinya. Belum lagi medannya yang panas dominan dengan tanaman jagung dan ketela. Kata penduduk setempat, jalan disini dulunya lumayan bagus. Meski tidak diaspal hotmix, namun cukup baik untuk jalan kendaraan roda 4. Hanya saja, setelah ada gelombang reformasi belasan tahun silam, kondisi jalan menjadi rusak parah dan tak terpelihara.

Di tengah jalan, kami melihat sekelompok petani yang sedang memanen ketela pohon, dan menaikkannya ke atas truk. Pikir kami, enak juga ya kalau nanti malam bisa bakar ketela di pinggir pantai. Segera saja mobil kami hentikan dan menghampiri mereka. Maksud kami ingin sekedar membeli barang lima ribu rupiah. Namun ternyata mereka malah mempersilahkan kami untuk mengambil ketela semau kami, dan menolak uang yang kami sodorkan. Meski kami memaksa, mereka tetap menolaknya. Akhirnya kami membawa sekarung ketela pohon, sementara uang lima ribu itu diam-diam kami letakkan di kursi sopir truk.

Salah satu sudut muara di pantai Brumbun *


Beberapa menit menjelang maghrib, kami sampai juga di pinggir pantai. Sayangnya, kami tidak sempat menikmati keindahan pantai perawan yang terkenal keelokannya tersebut, karena hari keburu gelap. Tapi setidaknya, kami sempat menyapa dan beramah tamah sebentar dengan beberapa penduduk setempat. Sambil berjabat tangan, mereka mempersilahkan kami untuk menuju sebuah rumah di belakang  masjid. Disana sudah berkumpul belasan orang lainnya, duduk di terpal dan tikar yang digelar di halaman. Aku lihat, beberapa hidangan sederhana telah siap di tengah lingkaran. Ada es degan, ketela rebus dan goreng, pisang, dan beberapa takjil ringan lainnya.

Ketika adzan maghrib berkumandang, maka dengan mengucap bismillah dan doa berbuka puasa, kami bersama sama menikmati takjil. Entah karena lapar atau memang enak, rasanya hidangan sederhana itu menjadi sangat istimewa. Ketela rebus yang sering dianggap makanan inferior pun terasa gurih dan manis di lidah. Terlebih dimakan bersama sama di pinggir pantai bersama masyarakat setempat. Kata orang, ketela Brumbun memang terkenal enaknya. Baik digoreng atau direbus atau sekedar dibakar, tetap saja terasa beda dengan ketela yang lain. Bener gak ya?

Bersiap melaksanakan sholat maghrib di masjid kampung 

Sore itu kami sholat maghrib berjamaah dengan penduduk setempat di satu-satunya masjid yang terletak di tengah kampung. Nikmat sekali rasanya bisa bersujud kepada Allah, merasakan kebersamaan dengan orang lain di tempat terpencil seperti ini. Meski air wudlu agak susah didapat, dan harus menimba di sumur kecil di depan masjid, tapi hal itu tidak mengurangi kekhusyukan kami beribadah.

Seperti biasa setelah sholat maghrib, acara inti pun dimulai. Apalagi kalau bukan makan bersama dengan masakan yang sudah dipersiapkan oleh ibu-ibu penduduk setempat. Aku lihat ada nasi putih, nasi gaplek, sayur lodeh tewel, sayur bobor, bothok teri laut, ikan layur goreng, gulai ikan, sambal terasi, dan macam macam makanan yang tidak sempat aku lihat. Buah-buah pencuci mulut juga tersedia melimpah. Seperti dalam mimpi rasanya, berada di perkampungan nelayan yang terpencil dan sederhana, tapi disuguhi makanan surga seperti ini.

Buka puasa bersama-sama, nikmatnya tak tergambarkan....

Belum sempat sadar dari kebingungan itu, pak Kyai segera menyeret tanganku dan mengajak makan bersama-sama. Uniknya, kami makan menggunakan daun pisang sebagai alas. Tidak ada piring yang tersedia. Itupun makanan disajikan jadi satu di daun itu, untuk kemudian disantap bersama-sama. Namun begitu, segera saja terbukti bahwa rasa nggak bisa bohong!  Kenikmatan makanan desa dengan goreng ikan layur segar membuat hanya tangan dan mulut yang bekerja. Peluh yang bercucuran karena pedasnya sambal terasi malah makin memacu semangat untuk menghabiskan makanan di depannya. Tanpa terasa, nasi tambah lagi, sayur lodeh dituang lagi, dan dua nampan besar goreng ikan layur disajikan lagi. Luar biasa! Padahal masih ada pisang, jeruk, dan es degan yang menunggu untuk dihabiskan. Mata pun mulai jelalatan kanan kiri. Ada gak ya tas kresek disini? Barangkali sisanya bisa dibawa pulang. He..he..he..

Tinggal sisa-sisa.......

Tepat saat Isya, sebagian besar penduduk berkumpul di masjid untuk melaksanakan sholat Isya dan tarawih. Karena kecilnya masjid, maka terpaksa wanita melaksanakan sholat di halaman diatas gelaran tikar. Bulan purnama diatas masjid turut memberikan penerangan, hingga bayang-bayang pohon kelapa pun terlihat menari-nari di pasir pantai.

Bersama-sama penduduk setempat mendengarkan pengajian 

Setelah sholat tarawih usai, para remaja masjid mempersiapkan peralatan. Rupanya akan diadakan pengajian di halaman masjid. Berduyun-duyun penduduk desa kecil yang hanya berjumlah puluhan Kepala keluarga tersebut mulai memenuhi halaman masjid. Karena lokasinya yang terpencil, pengajian dengan dilengkapi elektone lagu-lagu marawis tersebut sudah merupakan hiburan yang berarti bagi warga desa. Itulah sebabnya hampir semua warga keluar dan berkumpul di sekitar masjid.

Pasir bersih membentang *

Kalau saya lihat, pantai yang secara administrasi masuk  desa Ngrejo kecamatan Tanggunggunung kabupaten Tulungagung itu memang masih terisolir. Selain susahnya medan menuju lokasi, aliran listrik dari PLN juga belum menjangkau pantai itu. Untuk memenuhi kebutuhan listrik warga, pemerintah kabupaten Tulungagung telah memberi bantuan satu set panel listrik cahaya surya untuk setiap KK. Tiap set mampu menghasilkan listrik setara 30 watt. Karena kecilnya baterai, maka persediaan listrik tersebut hanya mampu menyuplai listrik selama beberapa jam saja. Sebagai perbandingan, persedian listrik sebesar itu hanya bisa menghidupi televisi selama tiga jam saja.

Telepon selular juga masih barang langka disini. Minimnya tenaga listrik dan jauhnya tower BTS adalah kendala utama. Tak heran jika sinyal telpon selular masih byar pet disini. Lebih seringnya malah hanya SOS atau NO SERVICE yang tampak di layar HP.

Pukul 21.00 kami meninggalkan lokasi, kembali ke Kediri. Kembali ke peradaban, kata teman-teman. Namun beberapa orang memutuskan untuk sekalian bermalam di desa itu, dan berencana kembali esok paginya saja.

Bagikan

Jangan lewatkan

Nikmatnya Buka Puasa di Pantai Brumbun
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

1 komentar:

Tulis komentar
avatar
September 16, 2013 at 2:10 AM

Lau lht pantai brumbun , hati ni sedih air mata netes . Karena da temen d brumbun yg perlu bantuanku , aq lum bisa membantunya.

Reply

silahkan masukkan komentar anda disini